Monday, December 22, 2008

Kado buat ibu...

Kado Hari Ibu? Alhamdulillah...weih kesampain juga menuruti keinginan ibu untuk menjadi PNS.

Alhamdulillah,
kado hari bapa? ...


baca juga : 8 kebohongan Ibu

Monday, December 15, 2008

Pegawai Negeri...

Ternyata menjadi PNS itu susah. Seleksinya susah dan kerjanya pun susah, bahkan untuk keluar dari PNS pun susahnya minta ampun.

Tes yang digelar untuk menjaring lulusan pendidikan untuk memasuki departemen atau instansi pemerintahan mengharuskan pesertanya untuk berjibaku mendapatkannnya. Mengurus berkas, daftar dengan mengantri, ke warnet, pulang ke daerah dengan ongkos yang tidak sedikit, atau mengorbankan waktu yang sebenarnya sudah dijadwalkan dalam aktivitas sebelumnya.

Subhanallah, mendaftar membutuhkan perjuangan yang besar juga. Bagi yang benar-benar diniatkan untuk berusaha dan ikhlas karena Allah, yang maha menilai usaha kita, dan dengan cara-cara yang benar juga tentunya, semoga pengorbanannya tidak disia-siakan dan, yakin lah Allah maha mengetahui harus di balas dengan apa, yang tentunya jauh lebih baik.

Seleksi CPNS, menjadi seleksi kemampuan dan bukti hasil belajar pelamarnya di bidang pendidikannya dahulu. Orang yang masuk ke dalamnya, benar-benar orang yang sudah tersaring dari pendidikan yang memang benar-benar ia kuasai. IPK, jadi salah satu parameternya. IPK yang pas-pasan, nilai yang mencerminkan kesungguhan kita dalam belajar dahulu menjadi penyaring awal di tes CPNS. Selamat bagi mereka yang bisa lulus dengan IPK yang baik dan memang benar-benar wawasan keilmuannya mumpuni.

Kemampuan bertindak, bersikap dengan dewasa dalam bekerja, berfikir dan berkemauan menjadi modal berikutnya. Betapa departemen, instansi pemerintahan yang menjadi impian bagi bangsa ini adalah departemen yang segar, departemen dan instansi yang banyak melahirkan karya dan ide besar bagi kemajuan bangsa ini. Dan Departemen, instansi pemerintahan yang segar serta kaya ide ini tidak lain mesti diisi oleh orang-orang yang berpandangan kedepan dan bisa dengan baik bertindak dalam kesehariaannya.

PNS menjadi tantangan juga dalam bekerja. Pegawai tidak lain seorang yang dituntut untuk bisa berbuat bagi majikannya. Pegawai tidak lain adalah orang yang harusnya menjadi pendukung utama bagi kelangsungan kehidupan perusahaan tempat pegawai itu sendiri. Karena tantangan, target bekerja, tuntutan masyarakat penilai dan penikmat kerja tersebut selalu mengawasi bagaimana kerja dan tidakan pegawai itu sendiri. Terlebih masyarakat dan Pegawai negeri sipil. Negeri yang besar ini harus di dukung oleh pegawai-pegawai yang mampu bekerja keras demi kemajuan departemen dan negaranya itu sendiri.

Bekerja untuk belajar, bekerja menangani masalah untuk kemajuan peningkatan diri. Beraktivitas dan berinteraksi dilingkungan kerja untuk kemajuan diri dan lingkungannya.

PNS keluarnya susah? Bagi yang benar-benar bercita-cita menghidupi dan menggantungkan sepenuhnya kehidupan tidak pada Allah yang maha pemberi rizki, meninggalkan PNS memang berat. Untuk yang mencoba berwirausaha, atau yang akan menghadapi masa pensiun, keluar PNS menjadi fikiran yang berat.

PNS, seleksinya, dan Negara ini masih terus berjalan menuju perbaikan, seperti baik dan besarnya harapan kebaikan yang memang akan terus menang saat ini dan diesok nanti...

catatan seorang sarjana yang masih punya harapan...

Mean dan Varians

Maha Suci Allah yang Maha Mengetahui. Maha kuasa Allah yang Maha Luas Ilmunya. Semua yang ada di dunia ini tidak lepas dari pengetahuan, dari kehendak dan dari kuasa Dirinya yang maha Mulia.

Ketika membaca ulang kembali pelajaran Statistika semasa kuliah dulu, teringat kenapa saya mesti belajar statistika. Apa hikmahnya mempelajari ilmu ini yang ternyata sebenarnya adalah Ilmu dari Allah juga. Ada salah satu bagian pelajaran dari Statistika tentang mean (rata-rata) dan varians atau keragaman.

Keduanya adalah ukuran, nilai atau ciri dari sekelompok/kumpulan data. Mean atau rata-rata sepertinya paling umum digunakan. Halayak dan masyarakat pada umumnya sudah sangat terbiasa menggunakana mean dalam kesehariannya.
...."rata-rata berapa yang dihabiskan memang tiap harinya...?"
..."berapa tinggi rata-rata polisi yang masuk tahun ini?..."
dst

Yang menarik dan saya temukan hikmahnya dari kedua ukuran ini, yaitu betapa keduanya saling melengkapi. betapa kedua ciri dari data ini sangat menarik untuk di teliti. tidak lengkap rasanya jika kita hanya mengetahui rata-rata dari suatu kumpulan data tanpa dengan lengkap mengetahui ragamnya.

Varian memberi keterangan kepada data bagaimana karakteristik keseluruhan dari dirinya. dengan keragaman, informasi secara keseluruhan data satu persatu dijelaskan.

dengan keragaman kita bisa membandingkan satu kelompok data dengan kelompok data yang lainnya.

kel data 1 : 50, 50, 50, 50, 50 mempunyai mean 50
kel data 2 : 30, 40, 50, 60, 70 mempunyai mean 50 juga...
kel data 3 : 20, 30, 50, 70, 80 ternyata mempunyai mean 50 juga.

Tapi, isinya berbeda. proses dan pembentukan kelompok data itu berbeda....

Subhanallah, dahsyat..

Saturday, December 13, 2008

Jalan Menjadi PencintaNya

Jalan Menjadi PencintaNya
Penulis : KH Abdullah Gymnastiar

Ada kalanya hidup tidak berjalan sebagaimana kita harapkan. Gelombang ujian dan cobaan seakan tak henti menerpa. Dari yang hanya membuat kita tertegun sejenak hingga yang menjadikan kita terkapar tak berdaya karenanya. Pedih dan getir pun menjadi rasa yang tertuai.

Saudaraku, yang perlu terus kita yakini bahwa getirnya hidup tidaklah menandakan rahmat Allah telah sirna. Perihnya cobaan, bukanlah isyarat bahwa kemurkaan Allah sedang menggelayuti kehidupan ini.

Sebaliknya, getir dan perihnya rasa yang kita alami itu, dapat menjadi tanda bahwa Allah sedang menghapus dosa-dosa yang pernah kita perbuat. Karena ada dosa yang tidak bisa dihapuskan kecuali oleh rasa getir dan perih. Ada dosa yang tak terhapus hanya oleh air mata penyesalan.
Ketika pedihnya terasa, di sanalah dosa akan terampuni. Saat getirnya membuncah, di situlah kesucian akan tertuai. Hasilnya, hati pun menjadi tenang dan keberkahan hidup menjadi jaminan.

Atau bisa jadi, itu semua menjadi tanda bahwa kita sedang dipersiapkan untuk menerima nikmat yang lebih besar, yaitu menjadi kekasih Allah atau para pencintaNya. Dan untuk menjadi para pencintaNya, haruslah siap diuji. Itu adalah harga yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Sebuah
keniscayaan yang telah menjadi sunatulllahNya.

Kita harus siap-siap digerinda, yang merupakan syarat untuk bisa dekat pada Allah. Gerindaan yang berbentuk ujian dan cobaan, akan terus-menerus menghampiri. Ia tidak akan hilang hingga segala karat-karat dosa kita, terkikis olehnya.

Seperti buah kelapa, untuk dapat diambil santannya, ia harus dijatuhkan terlebih dahulu dari pohonnya yang tinggi. Kemudian, kulitnya harus dikelupas dengan paksa hingga tak tersisa lagi. Setelah bersih, ia lalu dibelah menjadi beberapa bagian. Setelah itu, potongan-potongan kelapa tersebut lalu diparut hingga hancur dan hanya menyisakan ampasnya. Apakah telah selesai? Tentu saja belum, karena ampas kelapa itu akan diperas hingga keluarlah santan, yang di sana
manfaatnya baru terasa.

Begitu juga sifat dari cobaan dan ujian. Ia akan terus melumat dan menghancurkan segalanya, hingga yang tersisa adalah bagian-bagian dari diri kita yang secara kualitas, telah siap menjadi para pencintaNya.

Karena itu, saat gerinda telah datang, segeralah bertobat agar tak hanya pintu tobat yang terbuka, namun status menjadi pencintaNya pun akan menjadi milik kita. Tetapi bila gerinda itu belum tiba, jangan terlena olehnya. Tetaplah mendekatkan diri padaNya dengan selalu menempatkan Allah sebagai satu-satunya tujuan dalam hidup kita.

Sumber : Buletin Sakinah

Friday, December 12, 2008

Tarbiyah Dzatiyah

Tarbiyah Dzatiyah
Oleh: Mochamad Bugi

Tabiat dakwah ini berkembang dan menyebar ke berbagai pelosok dunia. Karena misi dakwah ini adalah menyebarkan rahmat bagi dunia untuk seluruh umat manusia (Al-Anbiya’: 107). Dengan begitu dakwah menjadi hak semua orang agar mereka meraih hidayah Allah. Amatlah pantas semua kalangan mendapatkan nikmat dakwah. Paling tidak, semua manusia dapat merasakan rahmat Islam. Kondisi ini dapat dipengaruhi oleh kepribadian dai dan aktivis dakwah.

Aktivis dakwah yang memikul tugas mengembangkan ajaran Islam ke segenap pelosok bumi seyogianya adalah orang yang mampu meningkatkan integritas diri dari masa ke masa. Peningkatan diri aktivis dakwah selaras dengan perkembangan dakwah. Peningkatan integritas diri secara mandiri inilah yang disebut dengan tarbiyah dzatiyah.
Kemampuan tarbiyah dzatiyah menjadikan dai mampu bertahan dalam berbagai ujian dan cobaan dakwah. Ia tidak futur (malas dan lesu), tidak kendur semangat dakwahnya, pemikirannya tidak jumud dan tidak akan bimbang dan ragu menjawab berbagai tuduhan miring serta yang sangat diharapkan dari efek tarbiyah dzatiyah adalah seorang dai mampu menyelesaikan persoalan yang menghadangnya.

Dengan sikap itu aktivis dakwah tidak sangat bergantung pada bayanat pusat atau qararat qiyadah. Melainkan ia mampu mengembangkan dakwah sebagaimana mestinya. Dan dapat mengambil keputusan yang tepat. Utusan-utusan Rasulullah saw. telah membuktikan dirinya dalam mengembangkan dakwah di berbagai tempat. Mereka dapat bertahan sekalipun jauh dari Rasulullah saw. dan komunitas muslim lainnya. Ja’far bin Abi Thalib di antaranya. Dia dan sahabat lainnya dapat tinggal di Habasyah dalam waktu yang cukup lama. Sekalipun mereka sangat merindukan berkumpul bersama dengan saudara muslim lainnya, mereka dapat mempertahankan dirinya dalam keimanan dan ketaqwaan. Begitu kuatnya daya tahan mereka hidup bersama dakwah jauh dari saudara-saudaranya yang lain dalam waktu yang cukup lama. Hingga Rasulullah saw. begitu bangga terhadap mereka di saat mereka pulang ke Madinah. Beliau menyatakan, “Aku bingung apa yang membuat senang diriku, apakah karena menangnya kita di Khaibar ataukah kembalinya kaum muslimin dari Habasyah.”

Demikian pula Mush’ab bin Umair sebagai duta Islam pertama dapat mengembangkan dakwah di Madinah dan berhasil membangun masyarakat di sana. Mush’ab sebagai guru pertama di Madinah dapat memperluas jaringan dakwah dan aktivisnya. Sehingga tempat itu menjadi basis komunitas umat Islam di kemudian hari. Dan menjadi mercusuar peradaban Islam.

Begitulah kepribadian aktivis dakwah yang mumpuni dalam mengemban amanah mulia. Mereka dapat menunaikan tugas tersebut dengan sebaik-baiknya. Lantaran tarbiyah dzatiyah yang ada pada diri mereka. Malah banyak tugas-tugas lain dapat diselesaikan dengan nilai cumlaude. Sebaliknya aktivis dakwah yang tidak mampu meningkatkan integritas dirinya cenderung linglung. Bahkan mungkin akan menimbulkan kegaduhan dalam kerja dakwah. Sebagaimana ungkapan pujangga lama ‘Al-‘askarul ladzi tasuduhul bithalah yujidul musyaghabati, aktivis yang tidak punya kemampuan untuk berbuat sesuatu sangat potensial membuat kegaduhan dalam kerja dakwah’.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (Al-Anfal: 27)

Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah Al-Mutaharikah (Kepribadian Aktivis Islam)
Tidak dipungkiri bahwa Tarbiyah Dzatiyah menjadi kepribadian aktivis Islam. Bahkan Rasulullah saw. menilai hal ini sebagai prasyarat untuk para duta Islam dalam mengembangkan dakwah. Karenanya hal ini menjadi point dalam fit and profer-test bagi mereka yang akan menjalani tugasnya. Sehingga seseorang yang diutus ke suatu tempat, Nabi saw. mempertimbangkan kemampuannya dalam pengembangan integritas dirinya.

Hal ini sebagaimana yang dipertanyakan Rasulullah saw. pada Muadz bin Jabal saat akan diutus ke Yaman. “Wahai Muadz, bila kamu berada di tempat yang baru nanti, jika menemukan suatu persoalan apa yang akan kamu putuskan?” Muadz menjawab, “Aku akan putuskan berdasarkan Kitab Allah.” Rasulullah saw. pun melanjutkan, “Bila tidak kamu temukan pada Kitab Allah, dengan apa kau putuskan?” Jawab Muadz, “Aku akan tetapkan berdasarkan Sunnah Rasulullah.” Nabi saw. kemudian menanyakan kembali, “Bila tidak juga kamu dapati di dalamnya, apa yang akan kamu lakukan?” Muadz menjawab, “Aku akan putuskan dengan akal pikiranku (ijtihadku).”

Ternyata jawaban Muadz sangat memuaskan hati Rasulullah saw. Malah beliau memandang bahwa kualitas Muadz sudah memadai untuk mengemban tugas mulia tersebut.

Kapabilitas yang semacam itu diharapkan mampu menyelesaikan setiap permasalahan yang selalu muncul di lapangan dakwah. Sehingga ia tidak selalu menyerahkan masalah itu pada qiyadah dakwah ataupun aktivis lainnya. Dengan kemampuan itu aktivis dakwah tidak gamang dalam menyikapi berbagai urusan yang terkait dengan tanggung jawabnya. Karena tanpa sikap itu persoalan dakwah akan bertambah pelik dan menambah beban qiyadah. Telah sering kita dengar qiyadah dakwah mengarahkan agar aktivis tidak selalu mengandalkan jawaban dari pusat atau menunggu bayanatnya. Melainkan mereka perlu menyikapi dengan cepat apa yang mesti diambil sikapnya untuk menuntaskan suatu permasalahan.

Meski demikian kita pun perlu melihat koridornya agar tidak terjebak dalam membebaskan diri untuk selalu bersikap di luar kendali qiyadah. Karena ini pun akan menimbulkan kekisruhan dalam struktural kendali dakwah. Seperti sikap Hudzaifah ibnul Yaman sewaktu ditugaskan Rasulullah saw. masuk ke barisan musuh. Hudzaifah mendapati Abu Sufyan sedang memanaskan tubuhnya karena udara dingin. Saat itu Hudzaifah mampu untuk membunuhnya, akan tetapi ia teringat pesan Rasulullah saw. bahwa tugasnya waktu itu adalah memperhatikan kondisi musuh dan mengabarinya kepada Rasul. Sehingga ia urung untuk membunuhnya walau kesempatan itu ada di hadapannya.

Karena itu perlu menempatkan secara imbang terhadap permasalahan ini. Peningkatan integritas diri dan mematuhi rambu-rambu qiyadah. Yang lebih berbahaya lagi bagi aktivis dakwah adalah bila tidak memiliki keduanya. Syaikh Hamid ‘Asykariyah menegaskan, “mereka yang sudah tidak punyai kebaikan (peningkatan integritas diri dan mematuhi rambu-rambu qiyadah), mereka telah kehilangan kesadaran terhadap kemuliaan dakwah dan kepunahan perilaku taat pada qiyadah. Siapa yang telah kehilangan dua hal ini, maka mereka tidak ada gunanya tetap berada dalam barisan dakwah bersama kita.”

Ada’u Mutathallibatil Manhaj (Menyelesaikan Tuntutan Manhaj)

Manhaj dakwah memberikan ruang yang banyak untuk sarana tarbiyah agar dapat merealisasikannya seoptimal mungkin. Baik melalui liqaat tarbawiyah, daurah, seminar, mukhayyam ataupun tarbiyah dzatiyah. Untuk mengaplikasikan manhaj dakwah yang begitu banyak dan padat tidaklah memadai dengan sarana tarbiyah regular. Karena keterbatasan alokasi waktu maupun keterbatasan Murabbi dalam menyelesaikan tuntutan manhaj. Maka tarbiyah dzatiyah menjadi sarana untuk menyelaraskan tuntutan manhaj tersebut.

Oleh karena itu perlu dipahami dengan benar pada setiap aktivis dakwah agar dapat melakukan tarbiyah dzatiyah dalam dirinya. Hal ini akan sangat membantu mengaplikasikan nilai-nilai tarbawiyah secara maksimal. Dan dapat mencapai arahan manhaj yang menjadi acuan dakwah untuk mewujudkan dai yang siap meringankan perjalanan dakwah ini. Bila masing-masing aktivis sibuk untuk merealisasikan manhaj dalam dirinya sebagaimana tuntutan manhaj maka semua aktivis akan aktif dengan berbagai program dan kegiatannya.
S
yaikh Abdul Halim Mahmud menyatakan bahwa tarbiyah dzatiyah merupakan tuntutan manhaj dakwah ini. Baik dalam arahannya agar menjadi aktivis dakwah yang sigap dan tanggap dalam menyambut tugas dakwah. Juga dalam muatannya yang tidak dapat diberikan secara kolektif karena berbagai pertimbangan. Namun dituntaskan secara personal dengan peningkatan kemampuan tarbiyah dzatiyah. Sehingga tampil aktivis yang siap go publik dengan Allah di jalan dakwah.

Tarqiyatu Ath-Thaqah Adz-Dzatiyah (Peningkatan Potensi Diri)
Peran serta aktivis terhadap dakwah sangatlah dimarakkan agar mereka dapat memberikan kontribusinya dan menjadi bagian dari dakwah. Dai yang dapat melakukan hal ini adalah mereka yang memahami betul potensi dirinya. Potensi yang dapat bermanfaat bagi perjalanan dakwah.

Menajamkan potensi diri menjadi aktivitas rutin. Seyogianya semakin hari semakin tajam potensi yang dimilikinya. Grafik potensinya selalu naik seiring perjalanan waktu. Sebagaimana yang dialami para pendahulu dakwah. Mereka senantiasa berada dalam kondisi puncak setiap bergulirnya waktu. Imam Ibrahim Al-Harby selalu mengomentari sahabat-sahabatnya dengan ungkapan istimewa. Katanya, “Aku sudah bergaul dengan fulan bin fulan beberapa waktu, siang dan malam. Dan tidak aku jumpai pada dirinya kecuali ia lebih baik dari kemarin.”

Layaknya aktivis dakwah dapat mengembangkan diri agar potensi yang dimilikinya betul-betul dapat didayagunakan seoptimal mungkin. Sehingga mereka bisa berada di garis terdepan. Bahkan sepatutnya dalam kondisi lebih baik dari hari-harinya yang telah lewat. Kondisi yang prima dan selalu lebih baik dari kemarin akan membuatnya istijabah fauriyah (dapat memenuhi panggilan dakwah dengan cepat) yang semakin kompleks tuntutannya. Dengan potensi yang demikian, aktivis dakwah dapat menempati lini yang beragam dalam tugas mulia ini. Karenanya tarbiyah dzatiyah adalah upaya untuk meningkatkan dan menajamkan seluruh potensi aktivis dakwah yang beragam.

Adapun aspek-aspek yang perlu ditingkatkan aktivis dakwah dalam tarbiyah dzatiyah terhadap dirinya meliputi:

1. Ar-Ruhiyah (Spiritual)

Sudah menjadi kebiasaan bagi para dai untuk dapat meningkatkan ketahanan ruhiyahnya. Sehingga ia tidak lemah dalam mengemban tugas mulia. Ruhiyah yang kokoh menjadi variable yang sangat menentukan. Bila perlu setiap aktivis memiliki program personal dalam menjaga ketahanan ruhiyah. Seperti merutinkan diri untuk shalat berjamaah di masjid, shaum sunnah, qiyamullail, sedekah, ziarah kubur ataupun aktivitas lainnya yang berdampak pada kesehatan ruhaninya.
Dengan upaya itu insya Allah maknawiyah dai tidak ringkih dan kendur. Kondisi maknawiyah yang rapuh akan berdampak negatif bagi dirinya dalam menjalankan tugas dakwah. Disamping itu, tampaknya para aktivis perlu mencermati naik turunnya ruhaniyah diri mereka sendiri. Bahkan sedapat mungkin mempunyai patokan yang terukur agar dapat dievaluasi dengan seksama baik melalui orang terdekat (murabbi, pasangan, teman) ataupun cukup diri sendiri.

Ambillah pelajaran dari sikap para sahabat dalam mentarbiyah ruhiyah mereka masing-masing. Ada yang selalu menjaga keadaan diri agar selalu dalam keadaan berwudlu’. Ada pula yang senantiasa mengunjungi orang yang sedang mengalami cobaan hidup. Ada juga yang berziarah ke makam, dan upaya lainnya. Camkanlah nasihat Umar ibnul Khathtab, “Hitung-hitunglah dirimu sebelum kamu dihisab Allah swt. di hari Perhitungan (akhirat).”

2. Al-Fikriyah (Pemikiran)

Pada dasarnya pemikiran manusia senantiasa menuntut konsumsinya agar tidak mengalami kejumudan berpikir. Untuk memenuhi tuntutan tersebut tidaklah cukup mengandalkan muatan pemikiran dari majelis liqaat tarbiyah semata. Akan tetapi dapat mencari berbagai sumber penggalian berpikir. Bisa melalui penelaahan kitab, menghadiri acara kajian ilmiah ataupun kegiatan peningkatan wawasan lainnya.
Telah banyak paparan nash dari Al-Qur’an ataupun Hadits yang menyuruh untuk memberdayakan kemampuan berpikir dengan melakukan pengamatan dan pengkajian. Sehingga pemikiran dai senantiasa dalam pencerahan bahkan ia selalu dapat mencari solusi yang pas. Bila demikian halnya pemikiran aktivis senantiasa berkembang dan menjadi pintu gerbang kemajuan intelektual. Maka, adalah wajib bagi aktivis dakwah untuk membaca buku beberapa jam dalam setiap hari serta memiliki perpustakaan pribadi di rumahnya sekalipun kecil.

3. Al-Maliyah (Material)

Dakwah juga dipengaruhi oleh kekuatan material. Tidak terkecuali para pengembannya. Karena itu setiap aktivis harus memiliki kemampuan interpreneurshipnya agar tidak menjadi beban orang lain. Ini harus menjadi muwashafat dai. Dai harus memiliki kemampuan mencari penghidupan bagi dirinya (qadirun alal kasabi).

Para sahabat yang diridhai Allah swt. telah memberikan pelajaran pada kita semua bahwa mereka tidak menjadi beban bagi saudara. Kaum Muhajirin yang datang ke Madinah tidak membawa apa-apa, namun mereka tidak mengandalkan bantuan kaum Anshar. Kaum Muhajirin mampu mengembangkan potensi maaliyah dirinya. Mereka pun akhirnya dapat hidup sebagaimana layaknya malah ada yang lebih baik dari kehidupannya di Mekkah.

4. Al-Maidaniyah (Penguasaan Lapangan)

Penguasaan lapangan juga hal sangat penting bagi perkembangan dakwah ini. Seorang aktivis mesti memahami medan yang dihadapinya dengan cepat. Penguasaan lapangan yang cepat dan tangkap dapat memperoleh taktik dan strategi yang tepat untuk dakwah ini. Pengenalannya yang bagus dapat menentukan strategi apa yang cocok dan pas bagi wilayah tersebut. Maka ketika para sahabat berada di tempat yang baru mereka mulai belajar untuk mengenal medan dan lingkungannya. Sehingga perjalanan dakwah mereka berkembang dengan pesat. Seperti dakwah di Madinah oleh Mush’ab bin Umair dan sahabat lainnya.

Dari sinilah setiap aktivis perlu mengenal dengan betul wilayahnya. Sehingga dapat terdeteksi dengan cepat mana yang menjadi peluang dakwah dan mana pula yang menjadi hambatannya. Sehingga ia dapat mensikapinya dari keadaan tersebut. Bila menemui sumbatan ia cepat mengantisipasinya.

5. Al-Harakiyah (Gerakan Dakwah)

Penguasaan harakiyah pun menjadi aspek tarbiyah dzatiyah yang perlu diperhatikan sehingga aktivis dakwah bisa mengikuti lajunya gerakan dakwah. Ini bisa terjadi apabila seorang aktivis dapat menyelami geliat dakwah dan pergerakannya. Pemahaman terhadap gerakan dakwah yang tepat melahirkan sikap dai yang mengerti benar tentang sikap apa yang harus dilakukan untuk kepentingan dakwah.
Sebagaimana yang dilakukan Hudzaifah Ibnul Yaman ketika masuk ke tengah barisan musuh. Saat kondisi malam yang gelap dan mencekam seperti itu, Abu Sufyan sangat khawatir pasukannya diinfiltrasi. Sehingga ia mengumumkan agar seluruh prajurit harus mengenal siapa yang ada di kiri kanannya. Setelah selesai memberikan komando itu Hudzaifah lantas memegang tangan orang yang ada di sisi kanan dan kirinya sambil menanyakan siapa engkau. Tentu saja mereka menjawab saya fulan bin fulan. Dengan kesigapannya Huzaifah tidak ditanya orang.

Sasaran yang hendak dicapai dari tarbiyah dzatiyah bagi seorang aktivis dan perkembangan dakwah adalah sebagai berikut:

Al-Munawaratul Al-Harakiyah (Gerak Manuver Dakwah)
Sasaran tarbiyah dzatiyah ini adalah untuk dapat mengembangkan gerak manuver dakwah ke berbagai wilayah dan pelosok. Sehingga banyak wilayah dan manusia lain yang mendapatkan sentuhan dari dakwah dan dainya. Wilayah dakwah semakin hari semakin meluas dan aktivis dakwahnya semakin hari semakin bertambah tentu juga peningkatan mutu kualitasnya. Dalam kajian Fiqhus Sirah, Syaikh Munir Muhammad Ghadhban diungkapkan bahwa Rasulullah saw. setiap tahun selalu mendapatkan informasi mengenai bertambahnya suku, kabilah atau orang yang tersentuh dakwah Islam dan menjadi pengikutnya yang setia. Ini tentu sangat terkait dengan para penyebar dakwahnya. Mereka adalah manusia-manusia yang selalu dalam kondisi meningkat iman dan taqwanya serta meningkat dalam merespon perintah dari Allah dan Rasul-Nya. Dengan kata lain bahwa tarbiyah dzatiyahnya sudah sangat mapan.

Al-Matanah An-Nafsiyah Ad-Dakhiliyah (Soliditas Personal)

Tarbiyah dzatiyah juga untuk meningkatkan daya tahan dai. Aktivis yang tidak lemah mentalnya, tidak jumud pikirannya, tidak menjadi beban material aktivis lainnya, tidak bingung dengan sekitarnya dan tidak pula linglung atau ketinggalan jauh dari lajunya dakwah ini. Aktivis yang tidak menjadi beban bagi dakwah atau membuat bertambahnya beban pemikiran para qiyadah.

Dengan begitu akan muncul aktivis yang tangguh dalam menunaikan amanah dakwah. Aktivis yang prima staminanya dalam menjalankan tugas. Sehingga perjalanan ini semakin lancar dan mulus untuk meniti jalan kemenangan dakwah. Bila hal ini tercapai dakwah tidak disibukkan dengan urusan internal dan konfliknya. Sebaliknya para aktivis akan sibuk dengan maneuver dakwahnya.

Upaya Memulai Tarbiyah Dzatiyah Bagi Aktivis

Untuk dapat menjalankan program tarbiyah dzatiyah hendaknya perlu mempertimbangkan kiat berikut:

Pertama, buatlah fokus sasaran tarbiyah dzatiyah yang akan dilaksanakan oleh masing-masing individu. Misalnya, aspek ruhiyah seperti apa yang diinginkan dengan gambaran dan ukuran yang jelas seperti shalat lima waktu berjamaah di masjid, selalu membaca 1 juz Al-Qur’an dalam setiap hari. Demikian pula aspek fikriyah ataupun aspek yang lainnya. Sehingga semakin teranglah fokus yang hendak dicapai.

Kedua, setelah menentukan fokusnya maka mulailah memperhatikan sisi prioritas amal yang hendak dilakukan. Aspek mana saja yang akan dilakukan dengan segera. Hal ini tentu melihat pertimbangan kebutuhan saat ini. Misalnya aspek ruhiyah yang diprioritaskan, maka buatlah program yang jelas untuk segera dikerjakan.

Ketiga, sesudah itu mulailah melaksanakan dari hal yang ringan dan mudah dari program yang telah ditetapkan agar dapat dilakukan secara berkesinambungan.

Keempat, agar dapat menjadi program kegiatan yang jelas, tekadkan untuk memulainya dari saat ini dan berdoalah pada Allah swt. agar dimudahkan dalam menjalankan ikrarnya. Kelima, untuk dapat bertahan terus melakukannya, upayakan untuk memberikan sanksi bila melanggar ketentuan yang telah diikrarkan.

Wednesday, December 10, 2008

Gunung

Karena kehidupan adalah kumpulan dari gunung-gunung masalah. Jangan takut untuk menaikinya. Semakin sering kita mendaki gunung tersebut semakin mahir pula kita menjalani kehidupan,

beu... (siap-siap naek semeru...)